Oleh
Taufik Qurochman
Memahami Undang-undang yang dibentuk dengan Metode Omnibus Law yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) tidaklah mudah mengingat sistematika penyusunannya tidak susuai dengan pakem penyusunan sistematika perundang-undangan yang lazim dan biasa digunakan seperti sistematika yang tertuang dalam lampiran Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jika membaca keseluruhan isi materi muatan UU Cipta Kerja maupun peraturan pelaksananya dalam bentuk Peraturan Pemerintah maka hanya membaca saja butuh waktu berhari-hari apa lagi memahami isi muatan yang terkandung didalamnya, Namun setiap paraturan baik itu dalam bentuk undang-undang maupun peraturan lainnya ada Ruh yang diharapkan oleh pembuat/pembentuk Peraturan itu sendiri.
UU Cipta Kerja Ruhnya adalah Upaya pengaturan yang berkaitan Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan percepatan proyek strategis nasional termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Ruh ini sangat jelas mempengaruhi Paradigma Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Serta Penataan Ruang yang berkelanjutan.
Paradigma yang sangat ekstrem dalam UU Cipta Kerja adalah menghilangkan berbagai terminologi perizinan dibidang lingkungan hidup dan Penataan Ruang dan merubahnya menjadi Penerapan Perizinan Berbasis Resiko yaitu Kegitaan Usaha Berisiko Rendah, Kegiatan Berusaha Menengah (rendah dan tinggi) dan Kegiatan Berisko Tinggi.
Sebelum UU Cipta Kerja dibidang lingkungan hidup terdapat terminologi perizinan yang antara lain izin lingkungan, izin Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup dan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup begitu juga dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang dan mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang.
Jia kita cermati kerangka hukum dalam UU Cipta Kerja ini sesungguhnya dibidang lingkungan hidup bukan hal yang baru melainkan ada sebelum UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPLH) dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan di berlakukan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak mengenal terminologi Perizinan dibidang lingkungan hidup. Hal yang sama juga terhadap Penataan Ruang Sebelum Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di berlakukan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang tidak mengenal terminologi perizinan dibidang Penataan Ruang.
Lalu Apakah Penerapan Perizinan Berbasis Resiko dalam UU Cipta Kerja ini keliru? Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M Ten Berge, Perizinan dapat didefenisikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas yakni merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan perundang-undangan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenaan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. Sedangkan dalam arti sempit yakni pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.
Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekedarnya. Hal pokok pada izin dalam arti sempit adalah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenaan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus.
Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenaan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu/ dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan.
Lebih Lanjut Menurut Philipus M. Hadjon Instrumen perizinan digunakan untuk mengarahkan/ mengendalikan (aturan) aktifitas tertentu, mencegah bahaya yang dapat ditimbulkan oleh aktifitas tertentu, melindungi objek-objek tertentu, mengatur distribusi benda langka, Seleksi orang dan/atau aktifitas tertentu. Dengan tujuan yang demikian maka setiap izin pada dasarnya membatasi kebebasan individu. Dengan demikian wewenang membatasi hendaknya tidak melanggar prinsip dasar negara hukum, yaitu asas legalitas.
Perizinan lahir dari adanya wewenang yang diberikan kepada pejabat publik sebagai pelaksana undang-undang oleh karena itu pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang berkelanjutan menjadi amanah dan komitmen bagi para pejabat publik yang ada di bumi Indonesia tercinta. Semoga !
Penulis merupakan mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jambi
Discussion about this post